Di bagian utara pulau Bali, tersembunyi sebuah pura yang memancarkan pesona berbeda, Pura Bukit Sinunggal.
Terletak di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, pura ini berdiri anggun di puncak bukit dengan panorama alam yang memadukan pegunungan dan laut.
Bagi wisatawan yang ingin keluar dari jalur wisata mainstream dan merasakan sisi spiritual Bali yang lebih autentik, Pura Bukit Sinunggal adalah pilihan yang tepat.

Sejarah Pura Bukit Sinunggal tak bisa dilepaskan dari masa penyebaran agama Hindu di Bali.
Berdasarkan catatan lontar dan cerita lisan para tetua, pura ini dibangun untuk memuliakan Ida Bhatara Lingsir, sosok leluhur yang dihormati sebagai pelindung wilayah.
Nama “Sinunggal” sendiri berarti “bersatu”, melambangkan kesatuan manusia dengan Tuhan, leluhur, dan alam semesta.
Bangunan ini diyakini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, dan meski beberapa kali mengalami pemugaran, bentuk aslinya tetap terjaga.
Arsitekturnya mempertahankan gaya khas pura Bali: gapura candi bentar yang kokoh, pelataran berundak, bale-bale untuk sesajen, serta ornamen ukir yang sarat makna filosofis.
Selain itu, Pura Bukit Sinunggal juga berperan sebagai pura kahyangan jagat, pura umum yang boleh dikunjungi oleh umat Hindu dari berbagai daerah, tidak terbatas hanya untuk warga lokal.

Pura Bukit Sinunggal terletak di ketinggian yang mengharuskan pengunjung melalui jalan menanjak di tengah perkebunan kopi, cengkeh, dan pohon-pohon tropis.
Begitu sampai di atas, hamparan laut Bali tampak membentang di kejauhan, sementara di sisi lain pegunungan hijau menyelimuti pandangan.
Baca juga: Pura Jayaprana, Sejarah & Legenda Cinta Abadi di Bali

Berbeda dengan pura-pura populer yang sering dipadati turis, Pura Bukit Sinunggal menawarkan suasana hening yang cocok untuk meditasi atau kontemplasi.
Angin pegunungan berhembus lembut, membawa aroma tanah dan bunga yang digunakan untuk upacara.

Setiap tahun, tepatnya pada purnama Kasa dalam kalender Bali, pura ini menjadi pusat keramaian warga Desa Tajun.
Upacara piodalan dilakukan untuk memperingati hari jadi pura, diiringi tarian sakral, tabuhan gamelan, dan sesajen warna-warni.
Momen ini menjadi cermin bagaimana tradisi leluhur tetap hidup di tengah modernitas.
Baca juga: Pura Maduwe Karang: Sejarah, Desain Arsitektur, dan Lokasi

Pura Bukit Sinunggal berfungsi sebagai simbol Tri Hita Karana.
Yakni simbol tiga penyebab kebahagiaan: hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).
Lokasinya di puncak bukit dianggap memudahkan hubungan vertikal dengan Sang Hyang Widhi Wasa.
Sementara itu, keberadaannya yang dikelilingi alam subur mengingatkan umat untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Banyak umat yang datang membawa doa-doa khusus: memohon perlindungan keluarga, kesehatan, atau keteguhan hati dalam menghadapi cobaan.
Bagi sebagian orang, suasana di sini memberi efek menenangkan, seolah waktu melambat, dan pikiran menjadi lebih jernih.
Desa Tajun sendiri berada di wilayah pegunungan Buleleng yang terkenal dengan udara sejuk dan tanah subur.
Perkebunan kopi dan cengkeh menjadi pemandangan umum di sepanjang perjalanan menuju pura.
Bagi wisatawan yang terbiasa dengan keramaian Denpasar atau Kuta, suasana ini terasa seperti napas segar.
Perjalanan menuju pura bisa dilakukan dengan kendaraan pribadi atau sewaan.
Meski jalannya berkelok, rute ini menawarkan pemandangan cantik, mulai dari sawah berundak hingga hamparan kebun tropis.
Baca juga: Ulasan Pura Beji Sangsit, Pura Suci & Indah di Bali Utara

Bali Utara kerap luput dari perhatian wisatawan, padahal kawasan ini menyimpan banyak permata tersembunyi.
Pura Bukit Sinunggal adalah salah satunya.
Ia tidak hanya indah, tetapi juga sarat makna budaya dan spiritual.
Berbeda dengan destinasi ramai yang penuh lalu-lalang, pura ini memberi ruang untuk hening.
Bagi pencinta sejarah, arsitekturnya menyimpan jejak masa lalu yang masih lestari.
Bagi pencinta alam, panoramanya adalah hadiah.
Dan bagi pencari ketenangan batin, aura sakralnya menjadi jawaban.


