Saat berkunjung ke Bali, destinasi yang paling sering ingin dikunjungi banyak orang tentu adalah pantai.
Hal ini wajar, mengingat Pulau Dewata memang identik dengan keindahan alamnya.
Namun, selain pantai, objek wisata lain yang tak kalah menarik adalah pedesaan.
Desa di Bali terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya.
Salah satu yang wajib dikunjungi adalah Desa Tenganan, yang terletak di Karangasem, Bali.
Lalu, apa yang membuat Desa Tenganan begitu layak dikunjungi? Langsung simak ulasan lengkap mengenai daya tarik desa ini, yuk!

Desa Tenganan merupakan salah satu dari tiga desa Bali Aga, bersama dengan Trunyan dan Sembiran.
Bali Aga sendiri dikenal sebagai desa yang masih mempertahankan pola hidup tradisional.
Alih-alih mengikuti arsitektur modern, bentuk dan ukuran bangunan, pekarangan, pengaturan letak rumah, serta lokasi pura dibuat sesuai adat yang diturunkan secara turun-temurun.
Berdasarkan catatan sejarah, nama Tenganan berasal dari kata “tengah” atau “ngatengahang” yang berarti “bergerak ke daerah yang lebih dalam”.
Nama ini terkait dengan pergerakan masyarakat desa dari pinggir pantai ke pemukiman di tengah perbukitan, yakni Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).
Versi lain menyebutkan, masyarakat Tenganan berasal dari Desa Peneges, kini dikenal dengan Candi Dasa, yang pada masa lalu masih menjadi bagian dari Kerajaan Bedahulu.
Konon, Raja Bedahulu pernah kehilangan salah satu kudanya, dan rakyat mencarinya ke arah timur.
Kuda itu ditemukan tewas oleh Ki Patih Tunjung Biru, orang kepercayaan raja.
Ki Patih Tunjung Biru kemudian diberi wewenang untuk mengatur wilayah yang berhubungan dengan lokasi ditemukannya bangkai kuda.
Ia menandai wilayah yang cukup luas dengan menyebarkan bagian-bagian bangkai kuda sejauh yang ia bisa.
Dari sinilah wilayah Desa Tenganan terbentuk.

Desa Tenganan di Bali terkenal dengan tradisi mekare-kare atau yang juga dikenal sebagai Perang Pandan.
Mekare-kare merupakan puncak dari rangkaian upacara Ngusaba Sambah yang digelar setiap bulan Juni dan biasanya berlangsung selama 30 hari.
Pada momen ini, masyarakat biasanya menghaturkan sesajen atau persembahan kepada para leluhur, yang kemudian diikuti oleh laki-laki, anak-anak, hingga orang tua.
Dalam tradisi ini, sarana yang digunakan adalah daun pandan yang dipotong sepanjang sekitar 30 sentimeter.
Daun tersebut berfungsi sebagai senjata untuk menyerang maupun tameng untuk bertahan dari serangan lawan.
Desa Tenganan Pegringsingan, Bali, terkenal dengan kerajinan tangan berupa tenun double ikat Gringsing.
Nama Gringsing berasal dari kata “gering” yang berarti sakit atau musibah, dan “sing” yang berarti tidak.
Dengan demikian, kain ini diyakini mampu menolak bala.
Salah satu hal yang membuat kain Gringsing begitu terkenal adalah proses pembuatannya yang panjang, bahkan bisa memakan waktu hingga tiga tahun.
Desa Tenganan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.
Desa wisata ini tidak jauh dari Candi Dasa, hanya sekitar 10 kilometer.
Cara paling mudah menuju desa ini adalah dengan kendaraan pribadi atau transportasi online.
Jika ingin perjalanan yang lebih praktis, kamu juga bisa mengikuti paket tur harian.

Untuk menikmati budaya di Desa Tenganan Karangasem, wisatawan dikenakan tiket masuk sebesar Rp20.000.
Namun, beberapa paket tur menawarkan harga sekitar Rp250.000 untuk berkeliling desa secara lengkap.
Di sini, kamu dapat menjelajahi desa, melihat proses pembuatan kerajinan tenun, mencoba pakaian tradisional, hingga berfoto.
Jika datang pada momen yang tepat, kamu juga bisa menyaksikan pelaksanaan upacara adat desa.
***Header: Kebudayaan.kemdikbud.go.id, Detik.com, Kompas.com


