Saat berkunjung ke Makassar, jangan lupa untuk mendatangi benteng Fort Rotterdam.
Seperti namanya, Fort Rotterdam Makassar merupakan bangunan berbentuk benteng. Temboknya memiliki ketebalan 2 meter, berwarna hitam, dan menjulang setinggi hampir 5 meter.
Tempat tersebut menyimpan banyak sejarah karena menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo dan penjajahan Belanda di timur Indonesia.
Selain itu, di area benteng juga terdapat sejumlah bangunan dengan arsitektur yang bernilai seni tinggi.
Tak hanya bisa belajar sejarah, wisatawan juga bisa menjadikan benteng ini sebagai latar tempat estetik untuk berfoto.
Tertarik mendatangi Fort Rotterdam? Lihat info selengkapnya di bawah ini.
Â
Sejarah Benteng Rotterdam bermula dari pembangunannya pada 1545 oleh Raja Gowa ke-10, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelar Karaeng Tunipalangga Ulaweng.
Material awal pembangunan benteng ini adalah tanah liat. Barulah pada 1634 pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, materialnya diganti menjadi batu padas dari Pegunungan Karst Maros.
Benteng tersebut sempat menjadi bangunan pertahanan saat VOC menyerbu pada 1655-1669 di bawah pimpinan Cornelis J. Speelman.
Akhirnya, benteng yang sudah mengalami kerusakan fatal tersebut beralih kepemilikan ke pihak Belanda.
Benteng itu lalu diganti namanya menjadi Benteng Fort Rotterdam, dan dibangun kembali dengan gaya arsitektur Belanda.
Sejumlah bangunan pun turut didirikan di areanya karena benteng ini menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi.
Â
Awalnya, fungsi Benteng Rotterdam adalah sebagai penangkal invasi Belanda.
Namun, setelah jatuh ke tangan Belanda dari Kerajaan Gowa-Tallo, benteng tersebut beralih fungsi menjadi markas komando pertahanan, kantor pusat perdagangan, dan pusat pemerintahan sejak 1930-an.
Kemudian, Fort Rotterdam juga pernah menjadi tempat penawanan Pangeran Diponegoro, sejak 1833 hingga wafat pada 8 Januari 1855.
Semasa ditawan, Pangeran Diponegoro telah menghasilkan sejumlah catatan tentang budaya Jawa.
Benteng ini kembali beralih fungsi ketika masa pendudukan Jepang menjadi pusat penelitian ilmu pengetahuan dan bahasa, pada 1942-1945.
Lalu saat Belanda kembali bercokol di Sulawesi pada 1945-1949, benteng ini menjadi pusat kegiatan pertahanan.
Barulah setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1970-an, Benteng Rotterdam dipugar sebagai tujuan wisata bersejarah, pusat budaya, pusat pendidikan, dan tempat pertunjukan seni.
Â
Saat memasuki benteng ini, kamu akan dibuat terpesona dengan kekokohannya meski sudah dibangun berabad-abad lalu.
Di bagian dalam bentengnya, terdapat 16 bangunan tua bergaya Eropa yang masih terawat.
Semua bangunan itu memiliki atap pelana, dengan kemiringan tajam, serta memiliki banyak jendela besar.
Di tengah-tengah benteng itu, terdapat taman hijau nan asri dengan rumput yang tertata rapi.
Kamu bisa mengambil foto dengan latar belakang benteng, bangunan bergaya Eropa, atau taman hijau tersebut.
Setelah melihat-lihat bangunan bentengnya, wisatawan juga bisa mendatangi Museum La Galigo secara gratis.
Di museum ini, wisatawan bisa mempelajari sejarah dan budaya Sulawesi Selatan, dari masa prasejarah hingga modern.
Kamu dapat mengamati senjata kuno, miniatur kapal pinisi, hingga koleksi fosil bebatuan.
Jika ingin membeli buah tangan, kamu dapat mengunjungi toko suvenir, galeri seni, dan toko-toko yang menjual buku kisah kepahlawanan dan sejarah yang berkaitan dengan Fort Rotterdam dan Makassar.
Fort Rotterdam berada di Jalan Ujung Pandang, Bulo Gading, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Di sekeliling benteng ini terdapat sejumlah bangunan modern seperti restoran, hotel, dan minimarket.
Adapun waktu tempuh dari Bandara Sultan Hasanuddin ke Fort Rotterdam adalah 49 menit, dan Pelabuhan Makassar hanya 4 menit.
Â